Much Ehwandi - Berbicara mengenai pemikiran seorang tokoh, tidak dapat lepas dari kondisi sosio-kultural yang melingkupi kehidupan masyarakat pada zamannya. Demikian pula sejarah hidup tokoh yang satu ini, KH. Ahmad Rifa’i, sebagai seorang intelektual muslim Indonesia abad 18 yang gigih dalam memperjuangkan nilai-nilai islam di tanah Jawa (khususnya Jawa Tengah) tidak terlepas dari  social culture pada saat itu.

Dalam memaparkan biografi KH. Ahmad Rifa’i, kami akan mencoba mendedahkan secara detail tentang tokoh tersebut, baik latarbelakang keluarga maupun pendidikannya, corak gerakan serta karya-karyanya. Namun kami tetap mendasarkan pada landasan ilmiah agar dapat diterima secara rasional oleh semua kalangan.

KH. Ahmad Rifa’i dilahirkan di desa Tempuran yang terletak di sebelah selatan masjid agung Kendal pada 9 Muharam 1208 H/1786 M dan meninggal pada usia 84 tahun hari ahad 6 Rabi’ul Akhir 1286 H/ 1870 M. Ayahnya bernama Muhammad Marhum, anak seorang penghulu landeraad Kendal bernama RKH. Abu Sujak alias Sutowidjojo. Ayahnya meninggal ketika ia masih berumur 6 tahun, kemudian ia diasuh oleh kakak iparnya bernama KH. Asy’ari, seorang ulama terkenal di wilayah Kaliwungu, yang kemudian mendidiknya dengan ilmu-ilmu agama (Abdurrazak, tt: 5). Jadi ia merupakan keturunan bangsawan sekaligus ulama, sehingga secara tidak langsung lingkungan yang agamis sudah ia rasakan mulai sejak kecil. Selain itu akses untuk belajar agama sejak dini juga sangat memungkinkan baginya.

Masa remaja KH. Ahmad Rifa’i berada dalam lingkungan kehidupan agama yang kuat, karena pada saat itu Kaliwungu dikenal sebagai pusat perkembangan Islam di Kendal dan sekitarnya. Di sinilah ia belajar barbagai ilmu agama seperti lazimnya di pesantren, di antaranya nahwu, shorof, fikih, badi’, bayan, ilmu hadis dan ilmu al-Qur’an (Amin, 1989: 9). Kondisi lingkungan ketika masih dalam masa perkembangannya yang sangat mendukung secara otomatis membentuk karakter tersendiri pada dirinya. Sebab pengaruh lingkungan terhadap kepribadian seseorang sangatlah besar di samping pengaruh sifat bawaan pribadi.

Ketika KH. Ahmad Rifa’i mencapai usia 30-an, yaitu sekitar tahun 1816 M, ia memutuskan untuk menunaikan ibadah haji dan menuntut ilmu di Makkah. Ia menghabiskan waktu selama delapan tahun untuk memperdalam ilmu agama yang telah ia pelajari sebelumnya di tanah air. Selama di sana, ia banyak berguru kepada syaikh-syaikh yang masyhur pada waktu itu, di antaranya; syeikh Abdurrahman, syeikh Abu Ubaidah, syeikh Abdul Aziz, syeikh Utsman, syeikh Abdul Malik serta syeikh Isa al-Barawi (Abdurrazak, tt: 12-13). Di antara pengikutnya juga ada yang meyakini bahwa ia meneruskan belajarnya ke Mesir selama dua belas tahun dan berguru kepada syeikh Ibrahim al-Bajuri (Amin, 1996: 53).

Mengenai keilmuannya dalam bidang tasawuf dapat kita lihat dari guru-gurunya sewaktu di Makkah. Di antaranya adalah syeikh Abdul Aziz dan syeikh Utsman. Keduanya dikenal sebagai guru yang memiliki pengetahuan tentang jiwa dan alam gaib. Dan dari syeikh Abdul Aziz lah ia menerima ilmu istiqrab, yaitu ilmu tauhid dan ma’rifat, beliau juga mengajarkan bagaimana cara untuk mendekatkan diri kepada Allah. Kemudian beliau menyuruh KH. Ahmad Rifa’i untuk belajar otodidak dengan membaca kitab-kitab yang ada di bait al-kutub (Abdurrazak, tt: 13-14). Mungkin dari kedua Syeikh inilah, ia mempelajari ajaran tasawuf al-Junaid, karena ia mengatakan sendiri bahwa dalam ilmu tasawuf ian mengikuti pendapat al-Junaid (Rifa’i, tt a: 323). Di samping itu, juga tidak ada sumber lain yang menjelaskan tentang gurunya dibidang tasawuf.

Ketika KH. Ahmad Rifa’i telah beberapa lama tinggal di Makkah beliau berjumpa dengan KH. Nawawi al-Bantani dan KH. Muhammad Kholil dari Madura. Mereka sering berdiskusi tentang keadaan tanah air yang sangat memprihatinkan terutama dalam hal pendidikan Islam (Amin, 1996: 54). Sewaktu pulang ke tanah air, ketiga ulama ini bertemu di atas kapal dan membicarakan bagaimana cara untuk mengentaskan umat dari belenggu kebodohan. Dalam diskusi itu mereka menetapkan, bahwa mereka berkewajiban menyusun kitab memakai metode yang sesuai dengan kondisi masyarakat setempat dan sesuai dengan keahlian masing-masing. Syeikh Nawawi menterjemahkan teologi (ushuluddin), Syeikh Ahmad Rifa’i menterjemahkan fikih, dan Syeikh Kholil menterjemahkan tasawuf (Abdurrazak, tt: 17).

Tetapi KH. Ahmad Rifa’i tidak hanya mengerjakan apa yang telah disepakati bersama, karena setelah sampai di kampung halaman ia segera mengarang berbagai kitab yang tidak hanya terfokus pada masalah fikih, namun menyangkut seluruh problematika permasalahan umat. Ini dapat dilihat dari karya-karya yang telah dihasilkan yang tetap terpelihara hingga kini (sebagian karyanya akan disebutkan kemudian).

Adapun dalam hal pemberdayaan serta pembinaan umat, maka yang pertama beliau lakukan adalah usaha untuk merubah pemahaman dan pengalaman Islam di tanah air yang dianggap telah menyimpang dari ajaran Islam murni, karena bercampur dengan khurafat dan syirik. Beliau berusaha meluruskan kepercayaan yang telah menyimpang tersebut, dan mengembalikannya kepada rel yang benar, yaitu al-Qur’an dan Hadis. Usaha inilah yang menjadikan beliau disebut sebagai seorang reformis Islam. Selain itu, beliau juga dikenal sebagai seorang revivalis, karena upayanya untuk memperkuat kembali kepercayaan Islam, untuk menghadapi pembaharuan sosial-politik di bawah pemerintahan kolonial (Darban, 2004: x). Unsur revivalis ini juga tercermin dalam kecamannya terhadap para pejabat saat itu yang dianggap mempunyai gaya hidup seperti orang kafir (Belanda), yaitu dengan kebiasaan mereka mengadakan pertunjukan wayang, main gamelan, berjudi dan lain sebagainya. Apa yang dilakukan KH. Ahmad Rifa’i tersebut jelas merupakan usaha pemurnian penghayatan agama atau yang lebih dikenal dengan gerakan revivalisme (Kartodirdjo, 1990: 4).

Menurut Azyumardi Azra, pada abad ke-17 dan ke-18, jaringan ulama yang menjadi sumber dinamika Islam berpusat di Makkah dan Madinah. Hal ini terjadi dengan berkumpulnya para ulama dan intelektual Muslim dari berbagai penjuru dunia terutama pada musim haji dengan beragam tradisi keilmuan yang berbeda. Perkumpulan mereka menimbulkan kesadaran untuk membarui dan merevitalisasi ajaran-ajaran Islam dengan tema pokoknya yaitu rekonstruksi sosio-moral masyarakat Muslim (Azra, 2004: xviii).

Pengembangan gagasan pembaharuan dan revitalisasi ajaran Islam sangat nampak dalam gerakan dan corak pemikiran KH. Ahmad Rifa’i. Sehingga ada kemungkinan bahwa beliau juga termasuk penerus jaringan ulama dari kawasan Melayu-Indonesia, sebab selain gerakan beliau bernafaskan pembaharuan dengan semangat revitalisasi ajaran Islam, hal itu terjadi setelah beliau menuntut ilmu di Makkah. Jadi, penulis berasumsi bahwa pengaruh gagasan pembaharuan jaringan ulama abad ke-17 dan ke-18 itulah yang mewarnai gerakan KH. Ahmad Rifa’i.

KH. Ahmad Rifa’i adalah seorang penulis yang produktif, karena beliau telah menulis berpuluh-puluh kitab semasa hidupnya. Namun. mengenai jumlah kitabnya hingga kini belum ada kepastian. Hal ini disebabkan di antara kitab hasil karya beliau banyak yang dirampas oleh pemerintah Belanda (Jalil, 2001: 21-22). Yumi Sugahara, seorang peneliti dari universitas Tokyo, mengatakan bahwa jumlah kitab karya KH. Ahmad Rifa’i sekitar 65 buah termasuk beberapa kitab yang belum ditemukan (Ukhuwah Edisi I, 2003: 17).

Masa paling produktif selama masa hidup KH. Ahmad Rifa’i yaitu sekitar umur 59 hingga 63 tahun, dimana saat itulah kitab terbesarnya Abyanal Hawaij selesai ditulis. Pada tahun-tahun tersebut beliau menyelesaikan sekitar 26 enam judul kitab, mulai dari yang berjumlah puluhan halaman hingga ribuan halaman.

Dari 65 buah kitab tersebut ada sepuluh kitab yang diwasiatkan khusus harus dipelajari oleh murid-muridnya. Empat kitab membahas tentang tiga ilmu keislaman (ushul, fikih dan tasawuf), yaitu Husnul Mithalab (12 koras [1842]), Asnal Miqasad (30 koras, dua jilid [1845]), dan Abyanal Hawaij (82 koras, enam jilid [1848]), Ri’ayatul Himmah (25 koras, dua jilid [1849]). Satu kitab tentang ilmu tajwid, yaitu Tahsinah (5 koras [1851]), satu kitab tentang ilmu pernikahan, yaitu Tabyanal Ishlah (11 koras [1847]), satu kitab tentang jual beli dan perekonomian Islam, yaitu Tasyrihatal Muhtaj (10 koras [1848]), satu kitab Tazkiyah (6 koras [1852]) tentang ilmu menyembelih binatang, kitab Mashlahah (10 koras [1853]) tentang pembagian harta pusaka, serta satu kitab tentang ilmu manasik haji, yaitu kitab Wadlihah (1855) yang berisi 12 koras. (Amin, 1996: 129-130)

Kitab-kitab tersebut memuat hukum-hukum Islam yang sangat penting bagi masyarakat. Karena itu harus dipelajari oleh setiap orang, sebagai bekal untuk hidup di tengah-tengah masyarakatnya. Dalam menunjukkan halaman kitab-kitab karya beliau menggunakan istilah Koras. Dimana tiap korasnya berisi dua puluh halaman.

Dari macam-macam kitab karangan beliau, terutama yang diwasiyatkan secara khusus kepada murid-muridnya, menunjukkan betapa besar perhatiannya terhadap pemberdayaan umat agar berjalan sesuai dengan rel Islam. Sebab, kitab-kitab tersebut menyangkut seluruh problematika manusia, baik yang berkaitan dengan hubungan vertikal (hablun min Allah) maupun horisontal (hablun min an-Naas). Demikian biografi singkat syeikh H. Ahmad Rifa’i semoga bias menambah wawasan dan dapat dijadiken teladan bagi generasi muda kita.

Post a Comment